Minggu, 16 Januari 2022

 


Pendidikan merupakan kawah candradimuka untuk membangun generasi bangsa. Pendidikan pada dasarnya adalah proses menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Guru sebagai ujung tombak pendidikan harus mampu menuntun siswa sehingga mereka mampu mengembangkan segala potensi dan bakat yang dimilikinya. Walaupun demikian guru bukanlah satu-satunya faktor, masih banyak faktor lain untuk mendukung pengembangan potensi anak.

Faktor tersebut adalah adanya budaya positif di sekolah. Budaya positif dapat berkembang dengan baik jika lingkungan sekolahnya mendukung. Lingkungan sekolah yang aman, nyaman, bersih, dan menyenangkan akan menjadikan siswa betah di sekolah. Siswa merasa ingin selalu ke sekolah. Ibaratnya siswa pergi ke sekolah seperti pergi ke taman penuh keindahan dan menyenangkan.  Dengan suasana tersebut siswa akan mampu berpikir, bertindak, dan mencipta dengan merdeka, mandiri, dan bertanggung jawab.

Sekolah dapat melakukan beberapa strategi untuk menciptakan budaya positif di sekolah. Dalam hal ini penulis selaku Calon Guru Penggerak (CGP) Angkatan 4 dari SMP Negeri 2 Satu Atap Jambon Kabupaten Ponorogo menuliskan “Padi Keris” sebagai senjata mewujudkan Budaya Positif Sekolah. Padi keris (Perubahan Paradigma, Disiplin diri, Keyakinan Kelas, dan Restitusi) merupakan Langkah-langkah dan strategi yang bisa dilakukan oleh sekolah untuk mewujudkan budaya positif.

1.  Perubahan Paradigma

Tugas guru sebagai pendidik dan bersinggungan langsung dengan murid tentunya bukanlah pekerjaan yang mudah dan sederhana. Guru harus melakukan fungsi kontrol dalam mendidik anak. Dalam melaksanakan teori kontrol guru sering mengalami miskonsepsi. Menurut paparan Dr. William Glasser dalam Control Theory, Miskonsepsi yang sering dilakukan guru adalah: 1) ilusi guru mengontrol siswa, 2) ilusi bahwa semua penguatan positif efektif dan bermanfaat, 3) ilusi bahwa kritik dan membuat orang merasa bersalah dapat menguatkan karakter, 4) ilusi bahwa orang dewasa memiliki hak untuk memaksa. Dalam teori ini jika kita sebagai guru apabila masih melakukan hal-hal tersebut sebenarnya apa yang kita lakukan sifatnya hanya ilusi dan tidak memberikan dampak yang positif kepada siswa.

Kemudian apa yang harus dilakukan oleh guru? Guru harus melakukan perubahan paradigma dari paradigma stimulus-respon menjadi teori kontrol. Adapun perbedaan dua paradigma tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut:

Teori Stimulus-Respon

Teori Kontrol

Realitas (kebutuhan) kita sama

Realitas (kebutuhan) kita berbeda

Semua orang melihat hal yang sama

Setiap orang memiliki gambaran yang berbeda

Kita mencoba mengubah orang agar

berpandangan sama dengan kita

Kita berusaha memahami pandangan orang lain tentang dunia.

Perilaku buruk dilihat sebagai suatu

kesalahan

Semua perilaku memiliki tujuan

Orang lain bisa mengontrol saya

Hanya Anda yang bisa mengontrol diri Anda

Saya bisa mengontrol orang lain

Anda tidak bisa mengontrol orang lain

Pemaksaan ada pada saat bujukan

gagal

Kolaborasi dan konsensus menciptakan pilihan-pilihan baru

Model Berpikir Menang/Kalah

Model Berpikir Menang-menang

 

Memperhatikan tabel di atas pada teori kontrol lebih berpikir terbuka dan menilai sesuatu atau perbuatan memerhatikan alasan-alasan dari pelaku. Sementara dalam teori stimulus respon memandag sesuatu dari pribadi dan setiap orang melakukan kesalaha selalu dipandang sebagai perbuatan yang buruk. Sebagai seorang guru akan bijaksana jika mulai sekarang harus melakukan perubahan paradigma dari stimulus respon menjadi teori kontrol.

2.  Disiplin Diri

Mendengar kata disiplin maka bayangan yang terlintas dalam pikiran kita adalah kekakuan, kepatuhan pada peraturan atau tata tertib. Secara etimologi disiplin berasal dari bahasa latin “disciplina” yang artinya “belajar”. Dalam rangka membentuk disiplin pada siswa, guru sering memberikan sanksi atau hukuman. Langkah ini sering manjadi langkah pertama yang dilakukan oleh guru. Apakah ini salah? Sebenarnya tidak. Hanya saja memberikan hukuman sebaiknya dilakukan sebagai alternatif terakhir atau justru tidak sama sekali. Guru dapat melakukan langkah-langkah lain yang lebih baik dan efektif dalam mendisiplinkan siswa.

Guru harus memerhatikan motivasi sesorang dalam berperilaku. Seseorang termasuk siswa dalam berperilaku ada 3 motivasi yaitu; 1) untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman, 2) untuk mendapatkan penghargaan, dan 3) untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya. Motivasi 1) dan 2) termasuk motivasi ekstrinsik, sedangkan motivasi 3) termasuk motivasi intriksik.

Sebagai seorang pendidik kita harus mampu mendisiplinkan siswa kita dan mengacu pada kebajikan-kebajikan serta memiliki motivasi intrinsik. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut guru harus melakukan pebiasaan-pembiasaan yang baik di sekolah dan guru harus menjadi teladan yang menginspirasi bagi siswa.

3.  Keyakinan Kelas

Istilah keyakinan kelas mungkin menjadi kata yang baru terdengar pada telinga kita sebagai seorang guru atau pendidik. Saat ini kata peraturan kelas lebih familiar terdengar di telinga. Apa yang dimaksud keyakinan kelas? ‘keyakinan’, yaitu nilai-nilai kebajikan atau prinsip-prinsip universal yang disepakati
bersama secara universal, lepas dari latar belakang suku, negara, bahasa
maupun agama. Menurut Gossen (1998), suatu keyakinan akan lebih memotivasi
seseorang dari dalam, atau memotivasi secara intrinsik. Seseorang akan lebih
tergerak dan bersemangat untuk menjalankan keyakinannya, daripada hanya
sekedar mengikuti serangkaian peraturan.

Keyakinan kelas disusun bersama-sama antara guru dengan siswa. Keyakinan kelas berupa kata atau kalimat universal dan mudah diingat. Kata atau kalimat dalam keyakinan kelas adalah kata atau kalimat positif.  Dalam membuat keyakinan kelas, guru dapat mengajak siswa untuk berdiskusi curah pendapat tentang keadaan yang diinginkan oleh siswa selama pembelajaran di kelas atau sekolah. Satu hal lagi bahwa keyakinan kelas ini berlaku secara dinamis yang artinya dapat diubah sewaktu-waktu sesuai kebutuhan.

4.  Restitusi

Kita sering melihat anak-anak melakukan kesalahan dan pelanggaran selama di sekolah. Sebagai guru apa yang harus kita lakukan terhadap anak-anak yang melanggar tersebut? Memaafkan atau langsung memberikan hukuman? Pada kasus seperti ini guru memiliki tugas semua pihak tidak ada yang dirugikan dan mengembalikan anak yang melakukan kesalahan tersebut dapat kembali ke kelompoknya dan memperbaiki kesalahannya. Untuk mewujudkan hal tersebut maka restitusi adalah solusi.

Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004). Melalui restitusi, ketika murid berbuat salah, guru akan menanggapi dengan cara yang memungkinkan murid untuk membuat evaluasi internal tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk memperbaiki kesalahan mereka dan mendapatkan kembali harga dirinya. Restitusi menguntungkan korban,tetapi juga menguntungkan orang yang telah berbuat salah. Ini sesuai dengan prinsip dari teori kontrol William Glasser tentang solusi menang-menang.

Sebagai solusi dalam menyelesaikan permasalahan siswa di sekolah, restitusi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a.    Restitusi bukan untuk menebus kesalahan, namun untuk belajar dari kesalahan

b.    Restitusi memperbaiki hubungan

c.    Restitusi adalah tawaran, bukan paksaan

d.    Restitusi menuntun untuk melihat ke dalam diri

e.    Restitusi mencari kebutuhan dasar yang mendasari tindakan

f.     Restitusi diri adalah cara yang paling baik

g.    Restitusi fokus pada karakter bukan tindakan

h.    Restitusi menguatkan

i.      Restitusi fokus pada solusi

j.      Restitusi mengembalikan murid yang berbuat salah pada kelompoknya

Ada 3 tahapan yang dilakukan untuk melakukan restitusi. Tiga tahapan tersebut adalah menstabilkan keadaan, validasi tindakan yang salah, menanyakan keyakinan. Tiga angkah tersebut digambarkan dalam segitiga restitusi sebagai berikut:

 


Demikian tadi “Padi Keris”  sebagai senjata mewujudkan budaya positif di sekolah. Dengan melakukan perubahan paradigma, pemahaman tentang disiplin diri, membuat dan menaati keyakinan kelas, serta melakukan restitusi maka budaya positif sekolah dapat terwujud. Dengan terwujudnya budaya positif maka akan mendukung siswa untuk belajar dan bekembang sesuai dengan kodrat alam dan zamannya.

 

Kontributor: Dwi Ebtanto.


0 komentar:

Posting Komentar

Recent Posts

BTemplates.com

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.

Jumlah Pengunjung

Popular Posts