Pendidikan merupakan kawah candradimuka
untuk membangun generasi bangsa. Pendidikan pada dasarnya adalah proses menuntun
segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan
kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota
masyarakat. Guru sebagai ujung tombak pendidikan harus mampu menuntun siswa sehingga
mereka mampu mengembangkan segala potensi dan bakat yang dimilikinya. Walaupun
demikian guru bukanlah satu-satunya faktor, masih banyak faktor lain untuk mendukung
pengembangan potensi anak.
Faktor tersebut adalah adanya budaya
positif di sekolah. Budaya positif dapat berkembang dengan baik jika lingkungan
sekolahnya mendukung. Lingkungan sekolah yang aman, nyaman, bersih, dan
menyenangkan akan menjadikan siswa betah di sekolah. Siswa merasa ingin selalu
ke sekolah. Ibaratnya siswa pergi ke sekolah seperti pergi ke taman penuh
keindahan dan menyenangkan. Dengan
suasana tersebut siswa akan mampu berpikir, bertindak, dan mencipta dengan
merdeka, mandiri, dan bertanggung jawab.
Sekolah dapat melakukan beberapa
strategi untuk menciptakan budaya positif di sekolah. Dalam hal ini penulis
selaku Calon Guru Penggerak (CGP) Angkatan 4 dari SMP Negeri 2 Satu Atap Jambon
Kabupaten Ponorogo menuliskan “Padi Keris” sebagai senjata mewujudkan Budaya
Positif Sekolah. Padi keris (Perubahan Paradigma, Disiplin diri, Keyakinan
Kelas, dan Restitusi) merupakan Langkah-langkah dan strategi yang bisa
dilakukan oleh sekolah untuk mewujudkan budaya positif.
1. Perubahan Paradigma
Tugas guru
sebagai pendidik dan bersinggungan langsung dengan murid tentunya bukanlah
pekerjaan yang mudah dan sederhana. Guru harus melakukan fungsi kontrol dalam
mendidik anak. Dalam melaksanakan teori kontrol guru sering mengalami
miskonsepsi. Menurut paparan Dr. William Glasser dalam Control Theory, Miskonsepsi
yang sering dilakukan guru adalah: 1) ilusi guru mengontrol siswa, 2) ilusi
bahwa semua penguatan positif efektif dan bermanfaat, 3) ilusi bahwa kritik dan
membuat orang merasa bersalah dapat menguatkan karakter, 4) ilusi bahwa orang
dewasa memiliki hak untuk memaksa. Dalam teori ini jika kita sebagai guru
apabila masih melakukan hal-hal tersebut sebenarnya apa yang kita lakukan
sifatnya hanya ilusi dan tidak memberikan dampak yang positif kepada siswa.
Kemudian apa
yang harus dilakukan oleh guru? Guru harus melakukan perubahan paradigma dari paradigma
stimulus-respon menjadi teori kontrol. Adapun perbedaan dua paradigma tersebut
dapat dilihat dalam tabel berikut:
Teori
Stimulus-Respon |
Teori Kontrol |
Realitas (kebutuhan) kita sama |
Realitas (kebutuhan) kita berbeda |
Semua orang melihat hal yang sama |
Setiap orang memiliki gambaran yang berbeda |
Kita mencoba mengubah
orang agar berpandangan sama dengan kita |
Kita berusaha memahami
pandangan orang lain tentang dunia. |
Perilaku buruk dilihat
sebagai suatu kesalahan |
Semua perilaku memiliki tujuan |
Orang lain bisa mengontrol saya |
Hanya Anda yang bisa mengontrol
diri Anda |
Saya bisa mengontrol orang lain |
Anda tidak bisa
mengontrol orang lain |
Pemaksaan ada pada
saat bujukan gagal |
Kolaborasi dan
konsensus menciptakan pilihan-pilihan baru |
Model Berpikir
Menang/Kalah |
Model Berpikir
Menang-menang |
Memperhatikan
tabel di atas pada teori kontrol lebih berpikir terbuka dan menilai sesuatu atau
perbuatan memerhatikan alasan-alasan dari pelaku. Sementara dalam teori
stimulus respon memandag sesuatu dari pribadi dan setiap orang melakukan
kesalaha selalu dipandang sebagai perbuatan yang buruk. Sebagai seorang guru akan
bijaksana jika mulai sekarang harus melakukan perubahan paradigma dari stimulus
respon menjadi teori kontrol.
2. Disiplin Diri
Mendengar kata
disiplin maka bayangan yang terlintas dalam pikiran kita adalah kekakuan,
kepatuhan pada peraturan atau tata tertib. Secara etimologi disiplin berasal dari
bahasa latin “disciplina” yang artinya “belajar”. Dalam rangka membentuk
disiplin pada siswa, guru sering memberikan sanksi atau hukuman. Langkah ini
sering manjadi langkah pertama yang dilakukan oleh guru. Apakah ini salah? Sebenarnya
tidak. Hanya saja memberikan hukuman sebaiknya dilakukan sebagai alternatif
terakhir atau justru tidak sama sekali. Guru dapat melakukan langkah-langkah
lain yang lebih baik dan efektif dalam mendisiplinkan siswa.
Guru harus
memerhatikan motivasi sesorang dalam berperilaku. Seseorang termasuk siswa
dalam berperilaku ada 3 motivasi yaitu; 1) untuk menghindari ketidaknyamanan
atau hukuman, 2) untuk mendapatkan penghargaan, dan 3) untuk menjadi orang yang
mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka
percaya. Motivasi 1) dan 2) termasuk motivasi ekstrinsik, sedangkan motivasi 3)
termasuk motivasi intriksik.
Sebagai
seorang pendidik kita harus mampu mendisiplinkan siswa kita dan mengacu pada
kebajikan-kebajikan serta memiliki motivasi intrinsik. Dalam rangka mewujudkan hal
tersebut guru harus melakukan pebiasaan-pembiasaan yang baik di sekolah dan guru
harus menjadi teladan yang menginspirasi bagi siswa.
3. Keyakinan Kelas
Istilah
keyakinan kelas mungkin menjadi kata yang baru terdengar pada telinga kita sebagai
seorang guru atau pendidik. Saat ini kata peraturan kelas lebih familiar terdengar
di telinga. Apa yang dimaksud keyakinan kelas? ‘keyakinan’, yaitu nilai-nilai
kebajikan atau prinsip-prinsip universal yang disepakati
bersama secara universal, lepas dari latar belakang suku, negara, bahasa
maupun agama. Menurut Gossen (1998), suatu keyakinan akan lebih memotivasi
seseorang dari dalam, atau memotivasi secara intrinsik. Seseorang akan lebih
tergerak dan bersemangat untuk menjalankan keyakinannya, daripada hanya
sekedar mengikuti serangkaian peraturan.
Keyakinan kelas
disusun bersama-sama antara guru dengan siswa. Keyakinan kelas berupa kata atau
kalimat universal dan mudah diingat. Kata atau kalimat dalam keyakinan kelas
adalah kata atau kalimat positif. Dalam
membuat keyakinan kelas, guru dapat mengajak siswa untuk berdiskusi curah pendapat
tentang keadaan yang diinginkan oleh siswa selama pembelajaran di kelas atau
sekolah. Satu hal lagi bahwa keyakinan kelas ini berlaku secara dinamis yang
artinya dapat diubah sewaktu-waktu sesuai kebutuhan.
4. Restitusi
Kita sering
melihat anak-anak melakukan kesalahan dan pelanggaran selama di sekolah.
Sebagai guru apa yang harus kita lakukan terhadap anak-anak yang melanggar
tersebut? Memaafkan atau langsung memberikan hukuman? Pada kasus seperti ini guru
memiliki tugas semua pihak tidak ada yang dirugikan dan mengembalikan anak yang
melakukan kesalahan tersebut dapat kembali ke kelompoknya dan memperbaiki
kesalahannya. Untuk mewujudkan hal tersebut maka restitusi adalah solusi.
Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk
memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa
kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen;
2004). Melalui restitusi, ketika murid berbuat salah, guru akan
menanggapi dengan cara yang memungkinkan murid untuk membuat evaluasi internal
tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk memperbaiki kesalahan mereka dan
mendapatkan kembali harga dirinya. Restitusi menguntungkan korban,tetapi juga
menguntungkan orang yang telah berbuat salah. Ini sesuai dengan prinsip dari
teori kontrol William Glasser tentang solusi menang-menang.
Sebagai solusi
dalam menyelesaikan permasalahan siswa di sekolah, restitusi memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
a. Restitusi bukan untuk menebus kesalahan, namun untuk belajar
dari kesalahan
b. Restitusi memperbaiki hubungan
c. Restitusi adalah tawaran, bukan paksaan
d. Restitusi menuntun untuk melihat ke dalam diri
e. Restitusi mencari kebutuhan dasar yang mendasari tindakan
f. Restitusi diri adalah cara yang paling baik
g. Restitusi fokus pada karakter bukan tindakan
h. Restitusi menguatkan
i. Restitusi fokus pada solusi
j. Restitusi mengembalikan murid yang berbuat salah pada
kelompoknya
Ada 3 tahapan yang dilakukan untuk melakukan restitusi. Tiga tahapan
tersebut adalah menstabilkan keadaan, validasi tindakan yang salah, menanyakan
keyakinan. Tiga angkah tersebut digambarkan dalam segitiga restitusi sebagai
berikut:
Demikian tadi “Padi Keris” sebagai senjata mewujudkan budaya
positif di sekolah. Dengan melakukan perubahan paradigma, pemahaman tentang
disiplin diri, membuat dan menaati keyakinan kelas, serta melakukan restitusi
maka budaya positif sekolah dapat terwujud. Dengan terwujudnya budaya positif
maka akan mendukung siswa untuk belajar dan bekembang sesuai dengan kodrat alam
dan zamannya.
Kontributor: Dwi Ebtanto.