Senin, 25 April 2022

Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh, perkenalkan saya Dwi Ebtanto, S.Pd. Calon Guru Penggerak Angkatan 4 Kabupaten Ponorogo. Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Nugroho Widi Pamungkas, M.Pd selaku fasilitator dan Bapak Siswanto, M.Pd selaku pengajar praktik atas ilmu dan bimbingan yang diberikan selama ini. Pada kesempatan ini saya akan  melakukan koneksi antar materi Pengambilan Keputusan sebagai Pemimpin Pembelajaran dengan menjawab pertanyaan penuntun pada LMS.

1. Bagaimana pandangan Ki Hajar Dewantara dengan filosofi Pratap Triloka memiliki pengaruh terhadap bagaimana sebuah pengambilan keputusan sebagai seorang pemimpin pembelajaran diambil?

Ki Hajar Dewantara telah mengenalkan filosofi pratap triloka pendidikan yang terkenal sampai sekarang yaitu; ing ngarsa sun tuladha (di depan memberikan contoh), ing madya mangun karsa (di tengah memberikan karsa/ motivasi), tut wuri handayani (di belakang memberikan dorongan). Tiga filosofi tersebut sangat mempengaruhi pengambilan keputusan yang kita ambil sebagai pemimpin pembelajaran. Guru harus mampu memainkan perannya dimanapun dan pada kondisi apapun. Guru dalam bahasa jawa diakronimkan menjadi digugu lan ditiru sehingga apa yang dilakukan guru akan menjadi perhatian dan dicontoh oleh murid-muridnya. 

Guru juga  harus mampu membangkitkan karsa atau semangat dari murid-murid. Guru dapat berperan menjadi teman bagi murid sehingga dapat memotivasi mereka. Selain itu guru harus mendorong murid-muridnya untuk berkembang sesuai dengan potensi dan bakat yang dimilikinya. Melihat posisi strategis guru tersebut maka guru harus memiliki kemampuan mengambil keputusan yang tepat agar memiliki dampak yang baik bagi anak-anak. 


2. Bagaimana nilai-nilai yang tertanam dalam diri kita, berpengaruh kepada prinsip-prinsip yang kita ambil dalam pengambilan suatu keputusan?

Seorang guru harus memiliki nilai-nilai positif yang tertanam pada dirinya. Nilai-nilai positif tersebut akan berdampak pada keputusan yang diambil sebagai seorang pemimpin pembelajaran. Nilai-nilai positif yang harus dimiliki guru adalah mandiri, reflektif, inovatif, kolaboratif, dan berpihak kepada murid. Nilai-nilai tersebut merupakan prinsip yang dipegang teguh ketika kita berada dalam posisi yang menuntut kita untuk mengambil keputusan dari dua pilihan yang secara logika dan rasa keduanya benar, berada situasi dilema etika (benar vs benar) atau berada dalam dua pilihan antara benar melawan salah (bujukan moral) yang menuntut kita berpikir secara seksama untuk mengambil keputusan yang benar. Dengan memegang prinsip nilai-nilai positif pada guru maka kita dapat mengambil keputusan keputusan yang tepat, berpihak kepada murid, dan resiko yang seminimal mungkin. 


3.  Bagaimana kegiatan terbimbing yang kita lakukan pada materi pengambilan keputusan berkaitan dengan kegiatan 'coaching' (bimbingan) yang diberikan pendamping atau fasilitator dalam perjalanan proses pembelajaran kita, terutama dalam pengujian pengambilan keputusan yang telah kita ambil. Apakah pengambilan keputusan tersebut telah efektif, masihkah ada pertanyaan-pertanyaan dalam diri kita atas pengambilan keputusan tersebut. Hal-hal ini tentunya bisa dibantu oleh sesi 'coaching' yang telah dibahas pada modul 2 sebelumnya.

Coaching merupakan bentuk kemitraan antara coach dan coachee untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki coachee melalui proses menstimulasi dan mengeksplorasi pemikiran melalui proses yang kreatif. Dalam proses coaching seorang coach tidak memberikan solusi atau jawaban secara langsung namun menstimulasi coachee untuk menemukan solusinya sendiri melalui pertanyaan-pertanyaan yang kreatif. Agar coachee dapat menemukan solusi dan memaksimalkan potensi yang dimiliki maka seorang coach harus mampu membuat pertanyaan-pertanyaan yang kritis dan kreatif. Salah satu model coaching yang dapat diterapkan adalah model TIRTA. Model TIRTA merupakan kepanjangan dari Tujuan, Identifikasi, Rencana aksi, dan TAnggung jawab. Melalui tahapan-tahapan tersebut sangat membantu coach dalam mengeksplorasi potensi yang dimiliki oleh coachee sehingga coachee mampu membuat keputusan yang tepat. Pendampingan yang telah dilakukan oleh pengajar praktik dan fasilitator sangat membantu dalam mengambil keputusan. Pengajar praktik dan fasilitator telah melakukan pendampingan yang membantu meningkatkan pemahaman tentang tahapan coaching model TIRTA. Melalui pertanyaan-pertanyaan yang kreatif dapat menuntun coachee untuk menemukan solusi dan pengambilan keputusan yang tepat. 


4.  Bagaimana kemampuan guru dalam mengelola dan menyadari aspek sosial emosionalnya akan berpengaruh terhadap pengambilan keputusan?

Kemampuan dalam aspek sosial emosional sangat diperlukan dalam mengambil keputusan yang tepat. Guru harus memiliki kemampuan kesadaran diri (self awarenes), pengelolaan diri (self management), kesadaran sosial (social awarenes), dan keterampilan berelasi (relationship skills) yang baik saat mengambil keputusan. Kesadaran diri berkaitan dengan pengenalan emosi. Seorang guru harus mampu mengenali emosi yang ia rasakan. Terdapat 6 emosi dasar pada manusia yaitu; takut, jijik, marah, kaget, sedih, dan bahagia.

Enam emosi ini nanti dapat berkembang menjadi emosi-emosi yang lain. Dengan mengenali emosi maka akan membantu guru untuk membuat keputusan yang tepat. Setelah mampu mengenali emosi maka selanjutnya guru dapat melakukan pengelolaan emosi yang ia rasakan dan fokus untuk mencapai tujuan. Tak hanya kemampuan dalam pengelolaan diri, kemampuan sosial berempati kepada apa yang dirasakan oleh orang lain,serta kemampuan membangun relasi sangat dibutuhkan untuk mengambil keputusan. Dengan memposisikan diri sama seperti yang orang lain rasakan maka akan memudahkan guru dalam membangun relasi dan akhirnya mampu mengambil keputusan yang tepat.


5.  Bagaimana pembahasan studi kasus yang fokus pada masalah moral atau etika kembali kepada nilai-nilai yang dianut seorang pendidik.

Keberpihakan dan mengutamakan kepentingan murid dapat tercipta dari tangan pendidik yangmampu membuat solusi tepat dari setiap permasalahan yang terjadi. Pendidik yang mampu melihat permasalahan dari berbagai kacamata dan pendidik yang dengan tepat mampu membedakan apakah permasalahan yang dihadapi termasuk dilema etika atau bujukan moral. Seorang pendidik ketika dihadapkan dengan kasus-kasus yang fokus terhadap masalah moral dan etika, baik secara sadar atau pun tidak akan terpengaruh oleh nilai-nilai yang dianutnya.

Nilai-nilai yang dianutnya akan mempengaruhi dirinya dalam mengambil sebuah keputusan. Jika nilai-nilai yang dianutnya nilai-nilai positif maka keputusan yang diambil akan tepat, benar dan dapat dipertanggung jawabkan dan begitupun sebaliknya jika nilai-nilai yang dianutnya tidak sesuai dengan kaidah moral, agama dan norma maka keputusan yang diambilnya lebih cenderung hanya benar secara pribadi dan tidak sesuai harapan kebanyakan pihak.Kita tahu bahwa nilai-nilai yang dianut oleh Guru Penggerak adalah reflektif, mandiri, inovatif, kolaboratif dan berpihak pada anak didik. Nilai-nilai tersebut akan mendorong guru untuk menentukan keputusan masalah moral atau etika yang tepat sasaran, benar dan meminimalisir kemungkinan kesalahan pengambilan keputusan yang dapat merugikan semua pihak khususnya peserta didik.


6. Bagaimana pengambilan keputusan yang tepat, tentunya berdampak pada terciptanyalingkungan yang positif, kondusif, aman dan nyaman?

Pengambilan keputusan yang tepat akan berpedoman pada 4 paradigma, 3 prinsip, dan 9 langkah pengambilan keputusan. Jika dalam penanganan sebuah kasus telah melakukan tahapan-tahapan tersebut dan tidak ada yang dilanggar dalam prosesnya tentunya akan dihasilkan keputusan yang tepat. Dimulai dari melihat paradigma yang digunakan dan prinsip yang dipakai serta melakukan 9 langkah pengambilan keputusan maka akan dihasilkan keputusan yang tepat. Keputusan yang tepat ini niscaya akan menciptakan lingkungan yang positif, kondusif, dan nyaman sehingga proses pembelajaran dalam sekolah dapat berjalan dengan baik. Tujuan pembelajaran juga dapat tercapai.


7. Selanjutnya, apakah kesulitan-kesulitan di lingkungan Anda yang sulit dilaksanakan untuk menjalankan pengambilan keputusan terhadap kasus-kasus dilema etika ini? Apakah ini kembali ke masalah perubahan paradigma di lingkungan Anda?

Kesulitan yang muncul adalah masalah perubahan paradigma dan budaya sekolah yang sudah dilakukan selama bertahun-tahun. Sering kita menjumpai kasus dilema etika dan bujukan moral dalam sekolah dan kita cenderung mengambil keputusan yang salah karena demi kepentingan mayoritas yang ada di sekolah. Kondisi ini masih terasa sulit untuk dapat diubah untuk saat ini. Sebuah keputusan yang telah ditetapkan bersama sebaiknya harus dijalankan secara bersama-sama namun pada praktiknya belum semua warga sekolah menjalankan keputusan tersebut. Terkadang keputusan yang diambil kadang kala tanpa sepenuhnya melibatkan guru sehingga muncul banyak kendala-kendala dalam proses pelaksanaan pengambilan keputusan.


8.  Dan pada akhirnya, apakah pengaruh pengambilan keputusan yang kita ambil ini dengan pengajaran yang memerdekakan murid-murid kita?

Semua tergantung kepada keputusan seperti apa yang diambil, apabila keputusan tersebut sudah berpihak kepada murid dalam hal ini tentang metode yang digunakan oleh guru, media dan sistem penilaian yang dilakukan yang sudah sesuai dengan kebutuhan murid, maka hal ini akan dapat memerdekakan murid dalam belajar dan pada akhirnya murid dapat berkembang sesuai dengan potensi dan kodratnya. Namun sebaliknya apabila keputusan tersebut tidak berpihak kepada murid, dalam hal metode, media, penilaian dan lain sebagainya maka kemerdekaan belajar murid belum dapat terwujud dan akibatnya murid tidak akan dapat berkembang sesuai potensi dan kodrat yang dimilikinya.


9. Bagaimana seorang pemimpin pembelajaran dalam mengambil keputusan dapat mempengaruhi kehidupan atau masa depan murid-muridnya?

Guru memegang peranan penting dalam pembelajaran. Ujung tombak keberhasilan pendidikan terletak pada tangan-tangan guru. Apabila guru mampu membuat keputusan yang tepat maka akan berdampak pada kehidupan dan masa depan murid-muridnya. Sebagai seorang pemimpin pembelajaran guru harus membuat keputusan-keputusan yang tepat baik di dalam kelas maupun di tingkat sekolah. Saat mengajar di kelas guru harus mampu menerapkan metode, strategi, media yang tepat untuk memunculkan minat belajar anak. Guru harus mampu melakukan pembelajaran berdiferensiasi agar dapat memenuhi kebutuhan belajar murid.

Pembelajaran berdiferensiasi dapat diwujudkan jika guru melakukan langkah-langkah persiapan sebelum pembelajaran untuk mengetahui kesiapan belajar anak, minat belajar, dan profil belajarnya. Kemudian dari pemetaan tersebut guru dapat melakukan diferensiasi baik konten, proses, maupun produk. Jika ini dilakukan dengan baik maka anak-anak akan dapat menggapai cita-citanya sesuai dengan potensi yang ia miliki. Di tingkat sekolah, guru juga harus mampu membuat keputusan yang tepat agar potensi yang dimiliki anak dapat berkembang dengan baik. Jika dihadapkan pada kasus dilema etika maka guru harus benar-benar melakukan tahapan-tahapan pengambilan keputusan dengan baik sehingga tidak merugikan kehidupan dan masa depan anak didik.


10. Apakah kesimpulan akhir yang dapat Anda tarik dari pembelajaran modul materi ini dan keterkaitannya dengan modul-modul sebelumnya?

Kesimpulan yang didapat dari pembelajaran modul ini yang dikaitkan dengan modul modul sebelumnya adalah:

Guru harus memiliki kemampuan mempelajari dan menganalisis kasus sebelum mengambil keputusan. Dalam mengambil keputusan sebagai seorang pemimpin pembelajaran harus berlandaskan kepada filosofi Ki Hajar Dewantara yaitu ing ngarsa sun tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. 

Pengambilan keputusan harus memperhatikan nilai-nilai baik yang tertanam pada guru serta melihat kekuatan atau potensi yang dimiliki. Pemetaan kekuatan dengan menggunakan alur BAGJA nantinya akan tercipta budaya positif di sekolah.  Sehingga akan terlihat pemandangan lingkungan yang positif, kondusif, aman dan nyaman (well being).

Dalam pengambilan keputusan seorang guru harus memiliki kesadaran penuh (mindfulness) memiliki kompetensi sosial emosional yang baik untuk menghantarkan muridnya menjadi murid dengan profil pelajar pancasila.

Dalam perjalanannya menuju profil pelajar pancasila, ada banyak dilema etika dan bujukan moral sehingga diperlukan panduan sembilan langkah pengambilan dan pengujian keputusan untuk memutuskan dan memecahkan suatu masalah agar keputusan tersebut berpihak kepada murid demi terwujudnya merdeka belajar.

 

Kontributor: Dwi Ebtanto 


Minggu, 16 Januari 2022

 


Pendidikan merupakan kawah candradimuka untuk membangun generasi bangsa. Pendidikan pada dasarnya adalah proses menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Guru sebagai ujung tombak pendidikan harus mampu menuntun siswa sehingga mereka mampu mengembangkan segala potensi dan bakat yang dimilikinya. Walaupun demikian guru bukanlah satu-satunya faktor, masih banyak faktor lain untuk mendukung pengembangan potensi anak.

Faktor tersebut adalah adanya budaya positif di sekolah. Budaya positif dapat berkembang dengan baik jika lingkungan sekolahnya mendukung. Lingkungan sekolah yang aman, nyaman, bersih, dan menyenangkan akan menjadikan siswa betah di sekolah. Siswa merasa ingin selalu ke sekolah. Ibaratnya siswa pergi ke sekolah seperti pergi ke taman penuh keindahan dan menyenangkan.  Dengan suasana tersebut siswa akan mampu berpikir, bertindak, dan mencipta dengan merdeka, mandiri, dan bertanggung jawab.

Sekolah dapat melakukan beberapa strategi untuk menciptakan budaya positif di sekolah. Dalam hal ini penulis selaku Calon Guru Penggerak (CGP) Angkatan 4 dari SMP Negeri 2 Satu Atap Jambon Kabupaten Ponorogo menuliskan “Padi Keris” sebagai senjata mewujudkan Budaya Positif Sekolah. Padi keris (Perubahan Paradigma, Disiplin diri, Keyakinan Kelas, dan Restitusi) merupakan Langkah-langkah dan strategi yang bisa dilakukan oleh sekolah untuk mewujudkan budaya positif.

1.  Perubahan Paradigma

Tugas guru sebagai pendidik dan bersinggungan langsung dengan murid tentunya bukanlah pekerjaan yang mudah dan sederhana. Guru harus melakukan fungsi kontrol dalam mendidik anak. Dalam melaksanakan teori kontrol guru sering mengalami miskonsepsi. Menurut paparan Dr. William Glasser dalam Control Theory, Miskonsepsi yang sering dilakukan guru adalah: 1) ilusi guru mengontrol siswa, 2) ilusi bahwa semua penguatan positif efektif dan bermanfaat, 3) ilusi bahwa kritik dan membuat orang merasa bersalah dapat menguatkan karakter, 4) ilusi bahwa orang dewasa memiliki hak untuk memaksa. Dalam teori ini jika kita sebagai guru apabila masih melakukan hal-hal tersebut sebenarnya apa yang kita lakukan sifatnya hanya ilusi dan tidak memberikan dampak yang positif kepada siswa.

Kemudian apa yang harus dilakukan oleh guru? Guru harus melakukan perubahan paradigma dari paradigma stimulus-respon menjadi teori kontrol. Adapun perbedaan dua paradigma tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut:

Teori Stimulus-Respon

Teori Kontrol

Realitas (kebutuhan) kita sama

Realitas (kebutuhan) kita berbeda

Semua orang melihat hal yang sama

Setiap orang memiliki gambaran yang berbeda

Kita mencoba mengubah orang agar

berpandangan sama dengan kita

Kita berusaha memahami pandangan orang lain tentang dunia.

Perilaku buruk dilihat sebagai suatu

kesalahan

Semua perilaku memiliki tujuan

Orang lain bisa mengontrol saya

Hanya Anda yang bisa mengontrol diri Anda

Saya bisa mengontrol orang lain

Anda tidak bisa mengontrol orang lain

Pemaksaan ada pada saat bujukan

gagal

Kolaborasi dan konsensus menciptakan pilihan-pilihan baru

Model Berpikir Menang/Kalah

Model Berpikir Menang-menang

 

Memperhatikan tabel di atas pada teori kontrol lebih berpikir terbuka dan menilai sesuatu atau perbuatan memerhatikan alasan-alasan dari pelaku. Sementara dalam teori stimulus respon memandag sesuatu dari pribadi dan setiap orang melakukan kesalaha selalu dipandang sebagai perbuatan yang buruk. Sebagai seorang guru akan bijaksana jika mulai sekarang harus melakukan perubahan paradigma dari stimulus respon menjadi teori kontrol.

2.  Disiplin Diri

Mendengar kata disiplin maka bayangan yang terlintas dalam pikiran kita adalah kekakuan, kepatuhan pada peraturan atau tata tertib. Secara etimologi disiplin berasal dari bahasa latin “disciplina” yang artinya “belajar”. Dalam rangka membentuk disiplin pada siswa, guru sering memberikan sanksi atau hukuman. Langkah ini sering manjadi langkah pertama yang dilakukan oleh guru. Apakah ini salah? Sebenarnya tidak. Hanya saja memberikan hukuman sebaiknya dilakukan sebagai alternatif terakhir atau justru tidak sama sekali. Guru dapat melakukan langkah-langkah lain yang lebih baik dan efektif dalam mendisiplinkan siswa.

Guru harus memerhatikan motivasi sesorang dalam berperilaku. Seseorang termasuk siswa dalam berperilaku ada 3 motivasi yaitu; 1) untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman, 2) untuk mendapatkan penghargaan, dan 3) untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya. Motivasi 1) dan 2) termasuk motivasi ekstrinsik, sedangkan motivasi 3) termasuk motivasi intriksik.

Sebagai seorang pendidik kita harus mampu mendisiplinkan siswa kita dan mengacu pada kebajikan-kebajikan serta memiliki motivasi intrinsik. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut guru harus melakukan pebiasaan-pembiasaan yang baik di sekolah dan guru harus menjadi teladan yang menginspirasi bagi siswa.

3.  Keyakinan Kelas

Istilah keyakinan kelas mungkin menjadi kata yang baru terdengar pada telinga kita sebagai seorang guru atau pendidik. Saat ini kata peraturan kelas lebih familiar terdengar di telinga. Apa yang dimaksud keyakinan kelas? ‘keyakinan’, yaitu nilai-nilai kebajikan atau prinsip-prinsip universal yang disepakati
bersama secara universal, lepas dari latar belakang suku, negara, bahasa
maupun agama. Menurut Gossen (1998), suatu keyakinan akan lebih memotivasi
seseorang dari dalam, atau memotivasi secara intrinsik. Seseorang akan lebih
tergerak dan bersemangat untuk menjalankan keyakinannya, daripada hanya
sekedar mengikuti serangkaian peraturan.

Keyakinan kelas disusun bersama-sama antara guru dengan siswa. Keyakinan kelas berupa kata atau kalimat universal dan mudah diingat. Kata atau kalimat dalam keyakinan kelas adalah kata atau kalimat positif.  Dalam membuat keyakinan kelas, guru dapat mengajak siswa untuk berdiskusi curah pendapat tentang keadaan yang diinginkan oleh siswa selama pembelajaran di kelas atau sekolah. Satu hal lagi bahwa keyakinan kelas ini berlaku secara dinamis yang artinya dapat diubah sewaktu-waktu sesuai kebutuhan.

4.  Restitusi

Kita sering melihat anak-anak melakukan kesalahan dan pelanggaran selama di sekolah. Sebagai guru apa yang harus kita lakukan terhadap anak-anak yang melanggar tersebut? Memaafkan atau langsung memberikan hukuman? Pada kasus seperti ini guru memiliki tugas semua pihak tidak ada yang dirugikan dan mengembalikan anak yang melakukan kesalahan tersebut dapat kembali ke kelompoknya dan memperbaiki kesalahannya. Untuk mewujudkan hal tersebut maka restitusi adalah solusi.

Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004). Melalui restitusi, ketika murid berbuat salah, guru akan menanggapi dengan cara yang memungkinkan murid untuk membuat evaluasi internal tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk memperbaiki kesalahan mereka dan mendapatkan kembali harga dirinya. Restitusi menguntungkan korban,tetapi juga menguntungkan orang yang telah berbuat salah. Ini sesuai dengan prinsip dari teori kontrol William Glasser tentang solusi menang-menang.

Sebagai solusi dalam menyelesaikan permasalahan siswa di sekolah, restitusi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a.    Restitusi bukan untuk menebus kesalahan, namun untuk belajar dari kesalahan

b.    Restitusi memperbaiki hubungan

c.    Restitusi adalah tawaran, bukan paksaan

d.    Restitusi menuntun untuk melihat ke dalam diri

e.    Restitusi mencari kebutuhan dasar yang mendasari tindakan

f.     Restitusi diri adalah cara yang paling baik

g.    Restitusi fokus pada karakter bukan tindakan

h.    Restitusi menguatkan

i.      Restitusi fokus pada solusi

j.      Restitusi mengembalikan murid yang berbuat salah pada kelompoknya

Ada 3 tahapan yang dilakukan untuk melakukan restitusi. Tiga tahapan tersebut adalah menstabilkan keadaan, validasi tindakan yang salah, menanyakan keyakinan. Tiga angkah tersebut digambarkan dalam segitiga restitusi sebagai berikut:

 


Demikian tadi “Padi Keris”  sebagai senjata mewujudkan budaya positif di sekolah. Dengan melakukan perubahan paradigma, pemahaman tentang disiplin diri, membuat dan menaati keyakinan kelas, serta melakukan restitusi maka budaya positif sekolah dapat terwujud. Dengan terwujudnya budaya positif maka akan mendukung siswa untuk belajar dan bekembang sesuai dengan kodrat alam dan zamannya.

 

Kontributor: Dwi Ebtanto.


Recent Posts

BTemplates.com

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.

Jumlah Pengunjung

Popular Posts